Rabu, April 13, 2016

Asal Usul Kota Sala Tiga

Di ceritakan pada jaman dahulu, kota Semarang dipimpin oleh Adipati Pandanarang dan mempunyai istri bernama Nyai Pandanarang. Ia terkenal sebagai pemimpin yang jujur, tetapi juga menyukai harta benda yang berlimpah.Sifat kurang baik adipati ini terdengar oleh Sunan Kalijaga, seorang wali yang arif dan bijaksana. Sunan berniat mengingatkan Pandanarang dengan menyamar sebagai tukang rumput. Ketika lewat di halaman kabupaten, Adipati Pandanarang menawar rumput dengan harga yang sangat rendah.
Penjual rumput itu setuju dan meletakkan rumputnya di kandang. Sebelum pergi, ia menyelipkan uang lima sen di antara rerumputan. Uang tersebut ditemukan oleh abdi dalem yang segera melapor kepada Pandanarang.
Hal itu terjadi berulang kali. Pandanarang heran mengapa tukang rumput tersebut tidak pernah menanyakan uangnya. Ketika tukang rumput itu datang kembali, Pandanarang pun menanyakan asal-usul tukang rumput itu. Ia juga menanyakan mengapa sang tukang rumput seperti tidak membutuhkan uang. Tukang rumput menjawab bahwa ia bisa mendapatkan emas dengan sekali cangkulan tanah. Ia tidak membutuhkan benda-benda duniawi, karena semuanya tidak abadi. la juga berkata bahwa ada emas permata tertanam di dalam halaman istana.
Cerita Rakyat Salatiga Dongeng Dari Jawa Tengah
Pandanarang marah mendengar jawaban itu. la merasa dihina oleh tukang rumput itu. Pandanarang menyuruh seorang abdi mengambil cangkul, kemudian menyerahkannya kepada tukang rumput. Dengan kukuh, tukang rumput tadi mengayunkan cangkul ke tanah. Ternyata, kata-kata orang itu benar. Ada emas permata di dalam tanah istana.
Adipati Pandanarang sangat terkejut melihat pemandangan di hadapannya. Seketika, ia merasa sangat kerdil dalam hatinya.
“Pandanarang, aku adalah Sunan Kalijaga”. Setelah mendengar kata-kata itu, Pandanarang langsung meminta maaf atas kekasarannya. Sunan Kalijaga meminta Pandanarang untuk melepaskan kegemarannya pada harta duniawi.
Pandanarang mengungkapkan kepada istrinya bahwa ia ingin berguru kepada Sunan Kalijaga. Istri Pandanarang menyetujui dan menyatakan bahwa ia ingin mengikuti sang suami.
“Kau boleh ikut, tetapi ingatlah kita tidak boleh membawa barang- barang yang kita miliki. Berikan barang-barang itu kepada fakir miskin,” ujar Pandanarang kepada istrinya.
lstrinya menyatakan bahwa ia tak rela meninggalkan harta bendanya dan menyerahkannya kepada fakir miskin. la meminta suaminya berangkat Iebih dulu. Lalu, perempuan ini menyimpan emas dan permata di dalam tongkatnya yang terbuat dari bambu. Pandanarang pun menyusul Sunan Kalijaga. Dalam perjalanan, mereka dihadang oleh tiga orang penyamun.
“Jika kau ingin barang berharga, tunggulah. Sebentar lagi, akan lewat seorang perempuan tua. Cegat dia. Kau akan mendapatkan emas permata dalam tongkat bambunya,” kata Sunan Kalijaga.
Muncullah Nyai Pandanarang yang berjalan tertatih dengan tongkat bambu. Ketiga penyamun tersebut menghadang dan merampas tongkat bambu yang ia pegang. Nyai Pandanarang tidak dapat berbuat apa-apa selain merelakan hartanya dirampas. Ketika berhasil bertemu dengan suaminya dan Sunan Kalijaga, ia menceritakan kejadian perampokan yang dialaminya sambil menangis.
“Kau tidak mendengarkan kata suamimu. Untuk berguru denganku, kalian harus meninggalkan harta duniawi. Jadi, kejadian ini adalah salahmu sendiri,” ujar Sunan Kalijaga.
“Ada tiga pihak yang melakukan kesalahan di sini, yaitu kau sendiri, suamimu dan para penyamun itu. Kelak, tempat ini akan menjadi kota yang ramai,” kata Sunan Kalijaga.
Untuk mengingat kejadian tersebut, Sunan Kalijaga menamakan daerah itu dengan “Salah Tiga”. Pada perkembangan, nama Salah Tiga bergeser ucapannya menjadi Salatiga. Kini Salatiga menjadi kota yang ramai seperti yang pernah diprediksi oleh Sunan Kalijaga.

Asal Usul Rawa Pening

Di ceritakan pada zaman dahulu, hiduplah seorang anak yang sakti. Kesaktiannya ini membuat seorang menyihir jahat iri. Penyihir jahat menyihir anak itu, sehingga tubuhnya penuh luka dengan bau yang sangat menyengat. Luka-luka baru akan muncul begitu luka lama mulai kering. Keadaannya kondisi tubuhnya itu, tidak ada seorang pun yang mau berhubungan dengannya. Jangankan bertegur sapa, berdekatan saja orang tidak mau. Mereka takut tertular.
Suatu hari, anak ini bermimpi ada seorang perempuan tua yang dapat menyembuhkan penyakitnya. Ia pun berkelana mencari perempuan tua dalam mimpinya tersebut. Di setiap kampung yang ia datangi, ia selalu ditolak oleh penduduk. Mereka merasa jijik dan mengusir anak ini.
Akhirnya, sampailah ia di sebuah kampung yang sebagian besar penduduknya adalah orang-orang yang sombong. Tidak banyak orang yang miskin di desa itu. Mereka akan diusir atau dibuat tidak nyaman kalau tinggal di sana. Hal ini mengusik hati anak kecil ini.
Pada sebuah pesta yang diselenggarakan di kampung itu, anak kecil ini berhasil masuk. Namun, orang-orang segera mengusirnya dan mencaci-makinya. Ia langsung diseret keluar.
Pada saat terseret, ia berpesan kepada orang-orang itu supaya lebih memerhatikan orang tak punya. Mendengar kata-kata anak itu, beberapa orang makin marah, bahkan meludahinya sambil berkata, “Dasar anak setan, anak buruk rupa!”
Anak itu merasa terluka dengan perlakuan orang-orang tersebut. Lalu, ia menancapkan sebuah lidi di tanah don berkata, “Tak ada satu pun yang bisa mencabut lidi ini dari tanah, hanya aku yang bisa melakukannya!”
Orang-orang meragukan ucapan anak tersebut. Mereka pun mencoba mencabut lidi tersebut. Namun, tak seorangpun dapat melakukannya. Dalam beberapa hari, lidi itu tak bisa tercabut. Suatu hari, secara diam-diam, anak itu datang don mencabut lidi itu. Tanpa sepengetahuannya, ada seorang warga yang melihatnya dan melaporkannya kepada warga yang lain.
Cerita Rakyat Rawa Pening Dari Jawa Tengah
Dari tempat lidi itu dicabut, mengalirlah mata air. Semakin lama, air itu semakin deras. Air menenggelamkan daerah tersebut, sehingga menjadi sebuah telaga yang kini bernama Telaga Rawa Pening.
Tidak ada yang selamat dari musibah itu kecuali seorang perempuan tua yang berbaik hati memberinya tempat tinggal dan merawatnya. Secara ajaib penyakit kulit anak itu sembuh.
Namun, penyihir jahat yang telah menyihir si anak itu tidak terima dengan kesembuhan itu. Kemudian, ia menyihir anak itu menjadi seekor ular besar dengan sebuah kalung genta di lehernya.
Konon, ular ini sering keluar dari sarangnya pada tengah malam. Setiap kali bergerak, dentingan kalung di lehernya selalu berbunyi klentang-klenting. Bunyi inilah yang kemudian membuatnya dinamakan Baru Klinting.
Kemunculan ular itu diyakinin masyarakat sebagai tando keberuntungan bagi nelayan nelayan yang tidak mendapat ikan.
Kini, Telaga Rama Pening adalah objek wisata yang sangat populer di Jawa Tengah. Tempat ini terletak di Desa Bukit Cinta, Kabupaten Ambarawa.

Cerita Awal Mula Telaga Warna

Di ceritakan pada Jaman dahulu ada sebuah kerajaan di Jawa Barat yang bernama Kutatanggeuhan. Kutatanggeuhan adalah sebuah kerajaan yang makmur dan damai. Kerajaan itu dipimpin oleh seorang raja bijaksana bernama prabu Swartalaya. Meski negeri itu hidup makmur, namun rakyat negeri itu merasa gelisah. Hal tersebut dikarenakan sang raja belum juga dikaruniai momongan hingga saat ini. Sehingga masalah tersebut membuat raja dan ratu sangat sedih, rakyatpun ikut gundah. Mereka khawatir jika kerajaan nantinya tidak memiliki penerus.

Akhirnya untuk bisa mendapat keturunan, sang raja menyepi dan bersemedi di sebuah goa. Setelah beberapa waktu lamanya, ahirnya harapan sang raja terkabul. Muncul sebuah suara tanpa wujud yang berkata bahwa harapanya akan segera terwujud. Sang raja merasa sangat senang, lalu dia menyudahi semedinya dan kembali ke istana.


Selang beberapa minggu kemudian, permaisuri akhirnya mengandung. Lalu sembilan bulan kemudian lahirlah seorang puteri yang sangat cantik. Puteri tersebut dinamakan Gilang Rukmini. Kelahiran sang puteri disambut riang gembira oleh segenap rakyat, terutama sang raja dan ratu yang sudah lama mengharapkan keturunan. Pesta diadakan cukup meriah di istana.

Beberapa tahun berlalu, puteri Gilang Rukmini tumbuh menjadi puteri yang sangat cantik. Namun karena sejak kecil sering dimanjakan oleh ayah ibunya, puteri gilang rukmini memiliki perangai yang cukup buruk. Dia tumbuh menjadi gadis yang sangat manja. Jika keinginanya tidak dituruti, dia akan cepat marah dan berlaku cukup kasar pada siapapun.
Namun sang raja dan segenap rakyat tetap menyayanginya. Mereka berharap perangai sang puteri kelak akan berubah seiring waktu. Hingga pada suatu ketika, tibalah umur sang puteri genap menginjak 17 tahun. Untuk merayakanya, suluruh rakyat sepakat untuk memberikan hadiah spesial sebagai wujud rasa cinta mereka pada sang puteri.

Akhirnya, rakyat seluruh negeri menyisihkan perhiasan terbaik mereka. Semua perhiasan itu nantinya akan dilebur untuk membuat kalung yang cukup cantik. Pandai emas terbaik diseluruh negeri, diserahi tugas untuk membuat kalung tersebut. Hingga terciptalah sebuah kalung yang sangat cantik, bertahtakan batu permata warna-warni yang berkilau.

Acara ulang tahun diadakan di istana dengan persiapan yang cukup megah. Panggung besar dibuat di depan istana dengan dekorasi yang meriah. Rakyat berbondong-bondong berkumpul untuk mengucapkan selamat pada sang puteri yang mereka cintai.

Akhirnya, sang raja, ratu, dan puteri datang dan naik ke atas mimbar, disambut sorak sorai para rakyat yang berbahagia. Hingga tibalah dimana kalung permata yang dipersembahkan oleh rakyat seluruh negeri diserahkan. Mereka berharap sang puteri akan merasa senang.

Namun ketika sang raja membuka kotak dan menyerahkan kalung itu, sang puteri hanya mengerutkan dahi. Tidak sedikitpun tampak raut senang di wajahnya. Melihat tingkah laku puterinya, sang raja menjadi malu. Lalu raja berkata..'' Terimalah dan pakailah kalung itu. Itu wujud cinta seluruh rakyat pada mu. Hargailah jerih payah mereka''. Namun jawaban sang puteri justru mengejutkan. Dengan terang-terangan dia menolak, bahkan mengejek kalung itu. ''Ah.. kalung apa itu? Jelek sekali. Warnanya sangat kampungan''.

Melihat tingkah laku puterinya yang sudah di luar batas, sang raja menjadi sangat sedih dan malu. Ahirnya sang raja mulai menangis. Melihat rajanya menangis, rakyat yang melihatnya ikut bersedih, dan ahirnya ikut menangis. Konon katanya, mereka semua menangis terus menerus hingga istana tergenang oleh air mata mereka. Dan tiba-tiba, dari dalam tanah juga ikut memancar air yang sangat deras, hingga istana dan seluruh negeri tenggelam di dasarnya. Dan kini, tempat itu berubah menjadi Telaga Warna. Karena pada waktu-waktu tertentu, air di telaga itu bisa berubah warnanya. Dan menurut legenda, itu adalah pancaran warna dari kalung Puteri Gilang Rukmini yang berada di dasar telaga.

Selasa, April 12, 2016

Kancil Nyolong Timun

Ing sawijining ing desa Dadapan urip keluwarga mbok Randa Dadapan karo anake wadon sing jenenge Menur. Bojone wis mati sepuluh tahun kapungkur. Saiki Menur wis dadi kembang desa lan umure wis 17 taun. Mbok Randa Dadapan supaya ora kesepian pengin anake Menur cepet-cepet ndang dadi manten wae. Kebeneran ana pemuda desa sing jenenge Tole Lanang pengin ndadekne Menur dadi bojone. Kamangka iku mbok Randa Dadapan wis siap-siap areng nganakne pesta kawin kanggo anake Menur
Bojone mbok Randa Dadapan seda kanthi menehi warisan sawah rong hektar. Kanthi bantuwan wong-wong sak desane, sawahe mbok Randa mau ditanemi pari lan palawija kayata kacang lanjaran, kacang dele, waluh, timun, lan semangka. Amarga lemah ing desa Dadapan iku subur-subur, kabeh tanemane mbok Randa mau ya subur-subur lan werna-werni ndemenake. Ana sing wernane abang, putih, kuning, ijo lan ungu
Neng rerembukan alas cedake Desa Dadapan urip sakwijining kewan cilik sing terkenal akeh akale. Bentuk kewane meng kaya wedus utawa kidang, ning cilik, pada wae gedene karo anakan wedus utawa anakan kidang. Jenenge kewan kuwi si Kancil. Kancil wis suwe idune ngiler ndelok kasil sawahe mbok Randa sing subur makmur, utamane timur sing seger lan semangka sing legi-legi seger. Pokoke si Kancil mikir, cepet utawa suwi aku kudu nyolong timun lan semangkane mbok Randa. Tapi dasar pikirane Kancil sing pinter, deweke nggak pengin mung mangan timun tanpa oleh sing liyane. Apa kuwi sing liyane ?
Jebul wis suwe si Kancil pengin dadi mantune mbok Randa lan ngawini anake mbok Randa sing dadi kembange desa Dadapan, yakuwi si Menur. Tanpa sadar, si Kancil wis suwe neroake apa wae sing biasane dilakoni karo Tole Lanang calon bojone Menur. Tapi amarga wetenge luwe, si Kancil pengin ndang cepet wae mangan timun neng kebone mbok Randa. Mangka kuwi esuk-esuk jam 7, si Kancil wis mulai nyolong timun neng kebone mbok Randa. Pas enak-enak mangan timun lan cangkeme kebak timun, si Kancil ditangkep karo mbok Randa dibantu karo akeh wong lanang neng desa Dadapan. Kancil terus ditangkep lan dikerangkeng nganggo kurungan pitik lan dijaga karo si Bruno, asune mbok Rana
Dasar Bruno kuwi asu preman, si Kancil sedela-sedela diwedeni nek areng dibeleh lan dianggo pesta wektu mantene si Menur lan Tole Lanang. “Wah celaka, penginku kawin karo Menur kok malah aku diwedeni terus karo si Bruno”, pikire si Kancil. Kamangka kuwi, ing sak wijining dina si Kancil nyeluk si Bruno, “No..No..mrenea disik No, aku ana kabar penting iki”, si Kancil nyeluk si Bruno. “Kabar penting apa ?”, pitakone si Bruno. “Ngene No, aku iki dicekel mbok Randa amarga aku arep didadekne manten karo Menur anake mbok Randa Dadapan, soale mbok Randa sak jane ora seneng si Menur bakal dilamar Tole Lanang. Senenge mbok Randa ya Menur didadekne manten karo aku, si Kancil sing paling cerdas sak ndonya iki No. Ngerti kowe ra, asu goblok ?”
Pancen Bruno asu iku pikirane cupet. Ning keasuan Bruno tersinggung disebut asu goblok karo si Kancil, kamangka kuwi Bruno nyoba ngrayu si Kancil, “Cil..cil, aku pengin lho dadi mantune mbok Randa Dadapan lan dadi manten karo Menur sing ayune uleng-ulengan kuwi. Wis aku wae sing dikurung neng kono. Mengko kowe tak wenehi 100 wiji timun lan panganen sak waregmu, asal kowe gelem tak genteni”. “We…enak bae, aku wis meh dadi mantune mbok Randa lan dadi bojone Menur kok mbok genteni. Ngene wae, wis timun lan 100 benggol duwit Landa ngge aku. Gelem ora ?, pitakone si Kancil marang Bruno. “Yo wis man, deal yo…?”, Bruno jungkir walik sak senenge…
Akhire Bruno mlebu kurungan pitik, lan si Kancil isa ngirup udara bebas…
Sepuluh tahun sak wise kuwi, Bruno mati tuwek neng kandange. Si Kancil urip bahagia merga dadi manten karo si Kumang, kancil wedok lan oleh anak loro, sing siji lanang dijenengake si Kancil Jr. dan sing nomor loro wedok dijenengake si Kumang Jr.

Roro Jonggrang


Long time ago, there was a kingdom named Prambanan. All the people of Prambanan lived peacefully. But then, Prambanan kingdom was attacked and occupied by the Pengging kingdom. Prambanan then was ruled by Bandung Bondowoso of Pengging kingdom. He was a mean king. He also had great supernatural power. His soldiers were not only humans, but also genies.

The king of Prambanan had a beautiful daughter named Loro Jonggrang. Bandung Bondowoso fell in love with her and wanted to marry her. “You’re very beautiful. Would you be my queen?” asked Bandung Bondowoso. Loro Jonggrang was shocked. She didn’t like Bandung Bondowoso because he was a mean person. She wanted to refuse, but she afraid that Bandung Bondowoso would be angry and endangered the people of Prambanan. Then, she came up with a plan. “If you want to marry me, you have to build a thousand temples for me in just one night," said Loro Jonggrang. “What? That’s impossible!” said Bandung Bondowoso. But he did not give up. He consulted with his advisor. “Your Majesty can asked the genies to help built the temples,” said the advisor.

So, Bandung Bondowoso summoned his entire genies soldier and commanded them to help him built a thousand temples. The genies worked in unbelievable speed. Meanwhile, Loro Jonggrang heard from her servant that the building of a thousand temples was almost finished. She was so worried. But again, she came up with a great idea. She asked all of her servants to help her. "Please prepare a lot of straw and mortar. Please hurry up!" said Loro Jonggrang. “Burn the straw and make some noise pounding the mortar, quickly.” All those servants did what Loro Jonggrang ordered them; burning straw and pounding the mortar, making the genies think that the sun is going to rise.

“It’s already dawn. We have to go,” said the leader of the genies to Bandung Bondowoso. All the genies immediately stopped their work and ran for cover from the sun, which they afraid of. They didn’t know that the light was from the fire that burning the straw, not from the sun.

Bandung Bondowoso can’t stop the genies from leaving. He was angry. He knew Loro Jonggrang had just tricked him. "You cannot fool me, Loro Jonggrang. I already have 999 temples. I just need one more temple. Now, I will make you the one-thousandth temple." He pointed his finger to Loro Jonggrang and said some mantras. Magically, Loro Jonggrang’s body turned into stone. Until now, the temple is still standing in Prambanan area, Central Java. And the temple is called Loro Jonggrang temple.