Di ceritakan pada jaman dahulu, kota Semarang dipimpin oleh Adipati Pandanarang dan
mempunyai istri bernama Nyai Pandanarang. Ia terkenal sebagai pemimpin
yang jujur, tetapi juga menyukai harta benda yang berlimpah.Sifat
kurang baik adipati ini terdengar oleh Sunan Kalijaga, seorang wali
yang arif dan bijaksana. Sunan berniat mengingatkan Pandanarang dengan
menyamar sebagai tukang rumput. Ketika lewat di halaman kabupaten,
Adipati Pandanarang menawar rumput dengan harga yang sangat rendah.
Penjual rumput itu setuju dan meletakkan rumputnya di kandang.
Sebelum pergi, ia menyelipkan uang lima sen di antara rerumputan. Uang
tersebut ditemukan oleh abdi dalem yang segera melapor kepada
Pandanarang.
Hal itu terjadi berulang kali. Pandanarang heran mengapa tukang
rumput tersebut tidak pernah menanyakan uangnya. Ketika tukang rumput
itu datang kembali, Pandanarang pun menanyakan asal-usul tukang rumput
itu. Ia juga menanyakan mengapa sang tukang rumput seperti tidak
membutuhkan uang. Tukang rumput menjawab bahwa ia bisa mendapatkan emas
dengan sekali cangkulan tanah. Ia tidak membutuhkan benda-benda duniawi,
karena semuanya tidak abadi. la juga berkata bahwa ada emas permata
tertanam di dalam halaman istana.
Pandanarang marah mendengar jawaban itu. la merasa dihina oleh tukang
rumput itu. Pandanarang menyuruh seorang abdi mengambil cangkul,
kemudian menyerahkannya kepada tukang rumput. Dengan kukuh, tukang
rumput tadi mengayunkan cangkul ke tanah. Ternyata, kata-kata orang itu
benar. Ada emas permata di dalam tanah istana.
Adipati Pandanarang sangat terkejut melihat pemandangan di hadapannya. Seketika, ia merasa sangat kerdil dalam hatinya.
“Pandanarang, aku adalah Sunan Kalijaga”. Setelah mendengar kata-kata
itu, Pandanarang langsung meminta maaf atas kekasarannya. Sunan
Kalijaga meminta Pandanarang untuk melepaskan kegemarannya pada harta
duniawi.
Pandanarang mengungkapkan kepada istrinya bahwa ia ingin berguru
kepada Sunan Kalijaga. Istri Pandanarang menyetujui dan menyatakan bahwa
ia ingin mengikuti sang suami.
“Kau boleh ikut, tetapi ingatlah kita tidak boleh membawa barang-
barang yang kita miliki. Berikan barang-barang itu kepada fakir miskin,”
ujar Pandanarang kepada istrinya.
lstrinya menyatakan bahwa ia tak rela meninggalkan harta bendanya dan
menyerahkannya kepada fakir miskin. la meminta suaminya berangkat Iebih
dulu. Lalu, perempuan ini menyimpan emas dan permata di dalam
tongkatnya yang terbuat dari bambu. Pandanarang pun menyusul Sunan
Kalijaga. Dalam perjalanan, mereka dihadang oleh tiga orang penyamun.
“Jika kau ingin barang berharga, tunggulah. Sebentar lagi, akan lewat
seorang perempuan tua. Cegat dia. Kau akan mendapatkan emas permata
dalam tongkat bambunya,” kata Sunan Kalijaga.
Muncullah Nyai Pandanarang yang berjalan tertatih dengan tongkat
bambu. Ketiga penyamun tersebut menghadang dan merampas tongkat bambu
yang ia pegang. Nyai Pandanarang tidak dapat berbuat apa-apa selain
merelakan hartanya dirampas. Ketika berhasil bertemu dengan suaminya dan
Sunan Kalijaga, ia menceritakan kejadian perampokan yang dialaminya
sambil menangis.
“Kau tidak mendengarkan kata suamimu. Untuk berguru denganku, kalian
harus meninggalkan harta duniawi. Jadi, kejadian ini adalah salahmu
sendiri,” ujar Sunan Kalijaga.
“Ada tiga pihak yang melakukan kesalahan di sini, yaitu kau sendiri,
suamimu dan para penyamun itu. Kelak, tempat ini akan menjadi kota yang
ramai,” kata Sunan Kalijaga.
Untuk mengingat kejadian tersebut, Sunan Kalijaga menamakan daerah
itu dengan “Salah Tiga”. Pada perkembangan, nama Salah Tiga bergeser
ucapannya menjadi Salatiga. Kini Salatiga menjadi kota yang ramai
seperti yang pernah diprediksi oleh Sunan Kalijaga.